Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?



Bismillahirrahmanirrahiim,

 Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah pertanyaan "Lu Muhammadiyah atau NU?"  Pertanyaan itu muncul ketika saya sedang berkumpul dengan teman-teman tongkrongan dan sempat berdebat dengan salah seorang teman seputar keIslaman. “Gua make keduanya” seraya menjawab pertanyaan.

Lantas orang tersebut bertanya lagi "Lha emang boleh? Terus mazhabnya gimana?". “Emangnya Muhammadiyah dan NU itu Mazhab?” ucap saya.

Saya besar di keluarga besar yang dikatakan mengikuti ajaran dari NU, tentunya lebih mengenal cara NU dibandingkan Muhammadiyah. Namun saat SMP bersekolah di Muhammadiyah dan mengikuti keorganisasiannya, sehingga mengetahui pengajaran keIslamannya. Saat bersekolah di Muhammadiyah, dalam pikiran saya yang baru saja mengalami perkembangan dan mulai concern dengan Sejarah Peradaban Islam maupun ilmu fiqh menjadikan saya bertanya-tanya tentang NU dan Muhammadiyah. Banyak orang dan teman-teman saya yang tidak mengetahui dengan Muhammadiyah (tidak sekolah di Muhammadiyah atau cmn belajar dari guru ngaji / orangtuanya saja) mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah arus aliran Islam unorthodox, sehingga akan aneh apabila mengikutinya.

  Beruntungnya saya memiliki orangtua yang tidak konservatif dan berpengetahuan dalam disiplin ilmu pengetahuan maupun agama sendiri, sehingga dapat mengajarkan ilmu fiqh ataupun sejarah peradaban islam sendiri. Yang jelas apa yang saya yakini bahwasannya harus berpegangan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, serta syahadat. Muhammadiyah dan NU bukanlah sebuah aliran, tetapi hanyalah sebuah organisasi Islam saja dan bergerak dalam syiar Islam, namun memiliki cara yang berbeda dalam mengimplementasikannya.

Sejarah Muhammadiyah dan NU

Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 / 8 Dzulhijjah 1330.  Sedangkan NU atau Nahdlatul Ulama. Didirikan oleh KH. Hasyim Asyari pada tanggal 31 Desember 1926 / 16 Rajab 1344. 

Keduanya adalah sahabat karib dan pernah mengenyam pendidikan di Arab oleh guru yang sama, yaitu Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (Imam Besar Masjidil Haram Pertama dari Indonesia). Namun karena perbedaan kultur keduanya, di mana KH. Ahmad Dahlan lahir dan besar di kota menjadikan cara pandang yang berbeda. Muhammadiyah lebih memilih menggunakan pendidikan formal mendirikan sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi. Sedangkan NU lebih memilih dengan mendirikan pondok pesantren. NU berafiliasi dengan partai politik sementara Muhammadiyah tidak.

Persamaan

          Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi keagamaan terbesar dan dapat dikatakan mewakili pandangan umat Islam di Republik Indonesia. Keduanya adalah penganut Islam Sunni ortodoks.  Keduanya merupakan organisasi keagamaan  sangat  mapan,  yang tidak lekang diterpa zaman. Dapat dilihat pada tahun 1990-an, ketika gelombang pluralisme dan kesetaraan gender mengayun pemikiran keagamaan di Indonesia, Muhammadiyah dan NU pun tidak terlepas dari riaknya. Keduanya sama-sama tertantang pemikirannya dalam menyikapi realitas sosial ini, sehingga eksistensinya tetap teruji. Ternyata memang terbukti, keduanya bisa sama-sama menyikapi arus perubahan dengan baik, sehingga eksistensinya semakin mapan, walaupun keduanya memiliki pemikiran dan sikap yang berbeda. Singkatnya Muhammadiyah berpaham modernis dan NU berpaham tradisionalis.

Perbedaan

Kedua-duanya sama-sama mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah, meskipun dalam bahasa yang agak berbeda. Muhammadiyah menyelogankan tajdid kembali kepada Al-qur’an dan Sunnah, dengan acuan hadist-hadits dari Aisyah R. A. dan manhaj tarjih, yaitu penelusuran dalil terkuat lintas mazhab dan perkembangan ilmu teknologi, dengan panduan akidah Atsar. Sedangkan, NU menyelogankan Aswaja mengikuti mazhab Syafi'i dengan acuan kitab Ar-Risalah, Al-Umm, dan mengikuti pendekatan pensucian hati dari Al-Ghazali, Junaid Al-Baghdadiseta panduan akidah Ash'ari.

Apabila melihat pendapat di atas tentunya akan adanya perbedaan, walaupun hanya sedikit, seperti NU tarawih dengan 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat sementara Muhammadiyah dengan tarawih 8 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Sebenarnya itu bukanlah masalah penting karena itu sunnah dan masing-masing memiliki dalil sendiri. Perlakuan keduanya saat berada di masjid pun berbeda.

NU banyak melantunkan puji-pujian, manakib, tahlil, barzanji, dan lain-lain, sementara jika berada di masjid Muhammadiyah, tidak melantunkan puji-pujian, namun hanya berzikir saja. Yang paling terasa adalah bahwa NU masih menjunjung tinggi dan lekat dengan tradisi lama orang Indonesia yang dulunya menganut agama Hindu-Buddha, hanya saja isinya sudah diselaraskan dengan Islam. Contohnya: Upacara Mitoni, selamatan orang meninggal, tabur bunga, dll. Berbeda bagi Muhammadiyah yang meninggalkan tradisi dan hanya menjalankan syariat Islam yang diajarkan Rasulullah saja. 

Perbedaan selanjutnya ada pada doa qunut, kalau NU setiap sholat subuh membaca doa qunut sementara Muhammadiyah tidak membaca qunut. Qunut hanya dibaca jika dalam keadaan genting seperti perang, dsb. Sebenarnya masih banyak perbedaan-perbedaan kecil lainnya. Untuk menentukan 1 Syawal warga NU menggunakan rukyah sementara Muhammadiyah memakai pedoman hilal.

Perbedaan-perbedaan di atas disebabkan adanya perbedaan dalam pengambilan keputusan dalam 2 organisasi tersebut.

Nahdlatul Ulama menyikapi permasalahan-permasalahan dengan metodologi yang disebut bahtsul masail. Metode ini unik sekali dan hanya berada di kalangan NU saja. Hal ini disebabkan NU yang sangat ketat akan feodalisme dalam organisasinya. Seseorang yang memiliki garis keturunan atau bahkan seseorang yang memiliki gelar tersebut akan sangat diikuti perkataannya oleh para jamaahnya, contohnya seorang dengan gelar Kyai, Habib, Cak, ataupun Gus (anak Kyai). Dalam NU perkataan orang-orang yang memiliki gelar tersebut, jamaahnya akan samina waatona sehingga keputusan dari bahtsul masail akan cepat beredar di circle NU, karena hierarki mereka yang lebih tinggi.

Sedangkan Muhammadiyah memiliki juga solusi yang beranjak dari fiqh klasik, para ulama Muhammadiyah mendeduksi secara totalitas pemahaman ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang. Bagi Muhammadiyah fiqh tidak sekedar practical, namun juga harus diimplementasikan dengan memiliki ilmunya. Berbeda dengan NU yang mengenal posisi hierarki dalam penerapannya, dalam Muhammadiyah semuanya dapat berpendapat apabila memiliki pemahaman dalam disipilin ilmu dalam bidangnya. Tidak heran apabila sering menemui instansi pendidikan yang berlabelkan Muhammadiyah dimana-mana karena memang dari awal mereka concern terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. 


Lebih baik mengikuti NU atau Muhammadiyah?


Lebih baik mengikuti NU atau Muhammadiyah?

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Artinya: 
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. Q. S. Ali-Imran[3]: 19

     Seperti yang disebutkan di surat Al-Imron ayat 19 diatas. Bahwasanya agama yang di ridhoi Allah ialah Islam. Tidak disebutkan nama ormas atau jamaah apapun di dalamnya.

     Jadi memilih ormas / jamaah apapun, sepanjang memang jamaah tersebut sesuai dengan Al-Qur'an, As-sunnah, dan Ijma (kesepakatan) para ulama, maka jamaah-jamaah tersebut ialah benar. Adapun apabila terjadi perbedaan di antara jamaah-jamaah tersebut, sepanjang perbedaan hanya di masalah furu (cabang) maka hendaklah berlapang dada dan saling memahami.

     Maka di Indonesia ini para ulama-ulama dari masing-masing jamaah / ormas tersebut berkumpul di satu majelis yang dinamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disitulah tempat dirumuskan fatwa, pandangan dan ketetapan terkait permasalahan umat Islam. Kenapa bukan Kementrian Agama? Karena Kemenag itu jabatan politis yang dimana sesuai arahan dan kebijakan kepala negara. Pemahaman kepala negara soal agama Islam bisa jadi terbatas. Maka ketetapan yang dikeluarkan Kemenag bisa jadi sesuai dengan arahan kepala negara yang dimana tidak selalu menggunakan pertimbangan agama.



Perbedaan itu indah

Dalam kehidupan ini perbedaan cara pandang adalah hal yang lumrah sepanjang masih menggunakan dasar-dasar Islam. Berpedoman pada aturan Islam yang benar. Perbedaan ini akan terasa indah apabila saling mengerti dan menyadari. Apapun itu sebagai manusia dalam hidup ini hanya bertujuan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Tidak bermaksud untuk mencari perbedaan. Menjalankan Islam secara kaffah dan komperehensif. Tidak akan di alam kubur ditanyakan kita Muhammadiyah apa NU? Tapi yang ditanyakan oleh malaikat nanti adalah siapa Tuhanmu, apa Agamamu, apa Kitabmu, dan siapa Nabimu. Keimanan itulah hakikat yang sesungguhnya. Jangan diributkan kita tahlilan atau maulidan apa tidak.

Biarkan saja toh semua adalah tanggung jawab pribadi masing-masing di hadapan Allah SWT. Jadilah muslim yang moderat, sehingga bisa melihat Islam secara kaffah dan komperehensif. Tinggalkanlah perilaku yang terlalu radikal maupun terlalu liberal agar dapat melihat sesuatu dalam berbagai perspektif. Sudahilah konflik-konflik antar suku, perbedaan pendapat, ataupun masalah agama lainnya. Janganlah permasalahan di zaman khalifah (masa lalu), dibawa ke masa modern yang penuh akan perubahan ini. Kalau diundang pengajian ya berangkat, kalau tidak diundang ya sudah. Santai saja. Hilangkan semua ego. Niatkan dalam hati beribadah hanya pada Allah semata.

Selesai.

(Najib Jayakarta)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?