Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

 

Ilustrasi Orang Mabuk

Sumber Gambar: Tintinindonesia


Bismillahirrahmanirrahiim,

    Secara umum dalam dunia Islam zat memabukkan dikenal sebagai khamar, dan hukum dari menenggaknya menurut mayoritas ulama telah bersepakat atas keharamannya. Hanya saja dapat muncul pertanyaan: khamar dalam wujud apa yang diharamkan? Bagaimana hukumnya jika zat yang memabukkan itu hanya sedikit dikonsumsi, dan tidak sampai bikin mabuk?

      Dilansir dari Islam.nu.or.id, Sejatinya menurut pendapat jumhur ulama, dari tiga mazhab Sunni, yaitu Syafi’I, Maliki, dan Hanbali cukup tegas bahwa minuman yang berpotensi memabukkan, sedikit atau banyak, minum sampai mabuk atau tidak, hukumnya tetap haram dan berdosa.

      Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi, minuman beralkohol boleh diminum selama tidak digunakan untuk maksiat, serta digunakan sekadar istimrarut tha’am (melancarkan makanan). Namun jika meminumnya sampai mabuk, maka tegukan terakhir itulah yang haram, dan peminumnya menjadi ghairu ‘aqil (tidak berakal). Seseorang yang tahu persis bahwa tiga gelas anggur akan membuatnya mabuk, maka dua gelas anggur yang pertama itu halal, lalu gelas ketiganya itu haram baginya.

      Dalam konteks Indonesia sendiri, banyak jenis minuman olahan non-anggur yang dikonsumsi masyarakat, baik tuak, ciu, air tape, fermentasi salak, dan lainnya. Namun minuman ini, bukanlah gaya hidup rutin kebanyakan orang Indonesia. Kebanyakan jadi minuman kala senggang, pelepas penat, dan tidak untuk sekadar istimrarut tha’am. Karena menjadi konsumsi kala senggang, sangat mungkin minumnya bisa kebablasan sampai mabuk. Orang Indonesia sendiri suka berdalih untuk menghangatkan diri karena ada dalil yang memperbolehkan, padahal Indonesia memiliki iklim hangat sehingga tidak berdasar dan tetap haram apabila meminumnya.

      Apabila ditimbang dari Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi'i, maka hukum mengonsumsi alkohol atau zat yang dapat memabukkan, baik sedikit atau banyak, minum sampai mabuk atau tidak, dan bukan untuk keperluan kesehatan, maka hukumnya tetap haram atau berdosa.

(Najib Jayakarta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?