Minggu 28: Stigma Suku Betawi

 

Suku Betawi
Sumber Gambar: Jakarta.tourism

Bismillahirrahmanirrahiim,

(Diambil sebagian dari makalah antropologi saya yang berjudul “Stigma Suku Pendatang Terhadap Suku Betawi”)

Betawi, yaitu kelompok atau suku etnis asli dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Biasa menyebut diri pribadi sebagai "Orang Betawi". Ciri khas Orang Betawi adalah pandangan dan pedoman hidup yang sarat akan pengaruh Islam. Orang Betawi sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama islam) kepada anak-anaknya. Dari segi sifat, orang Betawi jenaka, blak-blakan, memiliki jiwa sosial yang tinggi, tidak kenal takut dan menghargai prulalisme. Walaupun merupakan suku asli dari Ibukota Jakarta, namun Suku Betawi tersebar dan memiliki perbedaan dalam dialeknya.

Berdasarkan dialeknya, orang Betawi yang tersebar ini dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:

a. Betawi Tengah. Mendiami wilayah sekitar Gambir, Menteng, Senen, Kemayoran, Sawah Besar, dan Taman Sari.

b. Betawi Pinggir. Mendiami wilayah sekitar Pasar Rebo, Pasar Minggu, Pulo Gadung, Jatinegara, Kebayoran, Condet dan Mampang Prapatan.

c. Betawi Udik. Mendiami kawasan sekitar Cengkareng, Tangerang, Ciledug, Ciputat, Pondok Aren, Pondok Cabe, Sawangan, Cimanggis, Pondok Gede, Bekasi, Kebon Jeruk, dan Kebayoran Lama.

d. Betawi Pesisir. Mendiami wilayah sekitar Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda, Kalapa, dan Kepulauan Seribu.

Selanjutnya perbedaan dialek juga bisa ditengarai dan dituturkan dengan mudah oleh orang awam sebagai penanda Betawi. Dialek Bahasa Betawi Tengah untuk ‘gue’ dilafalkan ‘gue’ (bunyi e), sedangkan untuk Betawi Pinggir dilafalkan ‘gua’ (bunyi a). Selain itu, Bahasa Betawi udik (Betawi Ora) merupakan bahasa Betawi yang banyak dipengaruhi bahasa Jawa. Bahasa ini banyak digunakan oleh orang Betawi yang berdomisili di daerah pinggiran Jakarta (Tangerang, Depok, Bogor). Apabila dibandingkan dengan Bahasa Betawi yang lain, Bahasa Betawi Ora dianggap sebagai dialek bahasa Betawi yang paling kasar misalnya: Bagen (biarkan), ora (tidak), embung (tidak tahu), ontong. Bahasa Betawi Ora memiliki ciri akhir kata yang berhuruf ‘a’ menjadi ‘ah’, misalnya ‘saya’ menjadi ‘sayah’. Mungkin ini dialek yang bisa dianggap menjadi penanda identitas Betawi yang cukup kuat.

Namun karena pergeseran zaman, semua dialek-dialek ini bercampur sehingga sulit untuk membedakan perbedaannya, selama pengalaman hidup penulis yang hidup di lingkungan Betawi, bahwa masyarakat Betawi terdiri dari 2 kategori, yakni:

1) Betawi Kota bercirikan intelek, melek media, religius, berpendidikan, dan mengedepankan sopan santun saat bertemu tamu.

2) Betawi Kampung (Pesisir) bercirikan pemalas, tidak mengutamakan pendidikan, materialistik, dan serampangan.

Hal inilah yang membedakan pola pikir masyarakat dari Suku Betawi antara satu sama lain. Namun, masyarakat non-Betawi hanya melihat dari perilaku Betawi Kampung dan menstigma bahwa perilaku Betawi Kampung adalah sifat dan karakteristik yang sebenarnya dari Suku Betawi.

Hal ini tidak lepas dari pengaruh media massa khususnya media perfilman. Penulis melihat dan merasakan bahwa sinetron yang bertemakan Betawi, misalnya: Si Cemong, Ustad Fotocopy, Tukang Bubur Naik Haji, Emak Ijah Mau ke Mekah serta tayangan komedi yang populer Bajaj Bajuri, Orang Betawi dalam sinetron lebih sering ditunjukkan kebodohannya karena tidak berpendidikan, malas, polos dan tidak berwawasan untuk maju. Dalam sinetron bernuansa Betawi tercermin relasi kuasa yang timpang. Orang Betawi diposisikan sebagai tokoh marginal, yang berlawanan dengan citra karakter non-Betawi. Biasanya dalam sinetron, orang Betawi digambarkan berada dalam wilayah terpinggirkan (kumuh), hidup dalam kemiskinan, serta berpendidikan rendah. Narasi sinetron tidak jauh akan menempatkan tokoh Betawi sebagai protagonis yang blak-blakan dalam berbicara, polos, tidak takut siapapun, sedangkan tokoh antagonisnya adalah orang non-Betawi yang kaya, hidup di perumahan real-estate, dan berpendidikan tinggi.

 Dalam hal ini sinetron mengeksploitasi cara berbicara yang khas orang Betawi, apa adanya, dan sedikit memakai metafor (perumpamaan) saat berdialog. Lazimnya, keterbukaan itu di campur aduk dengan imaji keluguan yang dieksploitasi sebagai bahan lelucon, demi mencapai rating tinggi dan menggaet iklan. Peran dan keterlibatan orang Betawi dalam film dan sinetron, memengaruhi bagaimana orang Betawi ditampilkan. Misalnya, dalam sinetron Bajaj Bajuri terdapat orang Betawi, tetapi pengaruhnya tak signifikan.

Kalau pendapat penulis adalah para sutradara sinetron ini memiliki sebuah bayangan, tetapi tak meriset secukupnya. Mereka bikin sosok Betawi yang sangat asing. Orang Betawi benar-benar ‘babak belur’ oleh orang-orangan Betawi (hasil bayangan kreator), yang diambil ‘teriaknya ’atau ‘jengkolnya’ saja.

Memang, ada asumsi berkembang di masyarakat bahwa kebanyakan orang Betawi itu tidak berpendidikan. pemalas, tukang kawin, hidup dari sekedar menjaga kontrakan (baca: juragan kontrakan), tidak memiliki sopan santun (Penggunaan kata ‘Gua’ atau ‘Lu’) dan hanya mengandalkan warisan orang tua dalam menjalani hidup rumah tangga.  Penulis sendiri sebagai keturunan Betawi mengakui bahwa asumsi ini benar dan kondisi tersebut kerap dialami oleh orang betawi.

Namun, jika melekatkan asumsi ini kepada orang betawi semata, hal tersebut sebagai tindakan generalisasi stereotip terhadap orang betawi. Ini karena, ada banyak orang Betawi yang memiliki jenjang pendidikan yang bagus, pekerja keras, dan memiliki kesetiaan terhadap isteri yang dinikahi. Selain itu, ada yang hidup mengandalkan kemampuan tangannya sendiri dalam upaya survival hidup di Jakarta. Orang Betawi juga memiliki tingkatan dalam berbicara, kata ‘Gua’ dan ‘Lu’ hanya digunakan untuk teman sepermainan atau orang asing dan dilarang berbicara dengan orang yang usianya lebih tua.

Bagi sejumlah orang Betawi yang memiliki jenjang ekonomi tinggi, banyak yang menyekolahkan anak-anaknya hingga ke Mesir dan Irak yang notabene tidak akan memiliki sertifikat atau ijazah. Hanya saja berpendidikan Betawi lebih pada penguasaan ilmu agama Islam.

Hal tersebut itu tidak dilakukan oleh suku lain seperti Jawa, Batak, dan Minang yang mana lebih mengorientasikan pendidikan ala barat yang mana patokan dari tingkat kecerdasan berada pada tingkat intelektual seseorang. Tak heran suku Betawi ditelan dominasi arus intelektual berbasis ijazah seperti gayanya sekolah barat yang sekuler oleh suku-suku tersebut.

Sementara itu, orang Betawi yang berpendidikan tinggi dan berwawasan tidak diekspos karena dianggap sama dengan orang modern lain dari berbagai suku. Lebih jauh dari itu, pengecilan karakter lewat stereotip miring serta rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan menyebabkan orang Betawi merasa rendah diri. Walaupun penulis tidak berasal dari keluarga yang tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, namun terkadang penulis juga merasa rendah diri apabila mengakui bahwa penulis adalah orang Betawi. Dalam wawancara yang dilakukan penulis dengan teman yang merupakan sesama Orang Betawi, mereka pun merasa rendah diri apabila mengakui bahwa mereka adalah orang Betawi.

Perasaan rendah diri ini menjadi berlipat dengan stereotip orang betawi yang dipandang orang non betawi sebagai etnister belakang, malas, tukang kawin, dan suka jual tanah untuk pergi haji, sebuah stereotip yang di reproduksi secara terus menerus oleh orang luar betawi, melalui cerita-cerita ringan sebagai bentuk pengalaman dan oleh-oleh, saat orang luar betawi pulang kampung. Bahkan saya memiliki seorang teman yang menulis sebuah artikel tentang “Budaya tidak mau antri” yang dikaitkan dengan masyarakat betawi. Stigma inilah yang membuat orang betawi mengafirmasikan dirinya, sehingga menjadi keyakinan bahwasannya mereka memang seperti yang dipersepsikan.

Satu bentuk afirmasi tersebut terlihat dengan keengganan orang betawi yang berada di kota tidak menggunakan bahasa betawi dalam kehidupan publik mereka. Mereka hanya menggunakan bahasa betawi kepada sesama orang betawi saja dan digunakan lebih pada kehidupan privat. Kondisi ini dipaparkan oleh Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta 1966-1977, yang ketika itu bermaksud menghidupkan kembali tradisi dan kebudayaan betawi di Jakarta. Ali Sadikin menyebut kondisi ini dengan istilah “Orang betawi sedang tenggelam dalam rumahnya sendiri”.

Akibatnya, jika cara pandang negatif seperti ini dibiarkan akan berujung pada stigmatisasi terhadap orang betawi, yaitu mengurung identitas Betawi dengan asumsi yang sudah melekat kepada dirinya. Lebih jauh, dengan kondisi ini, orang Betawi dengan citra negatif yang melekat, akan mengafirmasikan diri lewat tindakan keseharian mereka.

(Najib Jayakarta)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?