Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif
(Diambil sebagian
dari makalah antropologi saya yang berjudul “Makhluk Manusia sebagai Bagian
dari Kehidupan Biologis”)
Pada
hakikatnya, manusia merupakan sebuah makhluk yang memiliki beberapa kesamaan
dengan makhluk hidup lainnya di bumi ini. Manusia juga terikat oleh aturan
alam, di mana akan merasa lapar apabila belum makan, pembedanya adalah bahwa
manusia memiliki sebuah anugerah yang tidak dimiliki makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa lainnya, yaitu alam bawah sadar (kecerdasan). Dengan anugerah ini,
manusia mampu memperjuangkan segala sesuatu yang akan atau belum terjadi
sehingga dapat merubah kondisi yang dialaminya saat itu.
Apabila dilihat
dalam Teori Evolusi Darwin, manusia juga merupakan makhluk yang paling dapat
beradaptasi dalam segala lingkungan, karena memiliki kecerdasan itu sendiri.
Manusia juga menyungsung konsep “jiwa” yang menurut ilmu psikologi adalah
bagaimana kita bisa berfikir, berkeinginan, dan memiliki perasaan. Jiwa adalah
hasil dari kerja otak kita.
Tentu saja
manusia juga memiliki berbagai macam varian layaknya makhluk hidup lainnya,
berbagai macam varian ini sering disebut dengan ras, namun dalam hal ini,
menurut saya bahwa pembagian manusia dalam ras adalah suatu usaha yang sia-sia
(sudah dibuktikan dalam penelitian)[1].
Karena apabila kita kembali kepada teori Pewarisan Mendel (Asortasi Bebas) yang
mengatakan bahwa ciri-ciri tubuh yang dimiliki oleh seorang anak tidak selalu
diturunkan melalui ciri yang berbeda dari ayah dan ibu. Maka dengan demikian,
dari segi biologi, istilah seperti ras Negroid pada ras manusia seharusnya
tidak dapat dianggap lagi. Fenotipe seseorang ditentukan oleh hanya sejumlah
kecil gen. Secara biologis, hanya ada satu ras manusia, yaitu Homo Sapiens.
Apabila melihat
dari sejarah klasifikasi rasial yang diungkapkan oleh para ilmuwan barat, salah
satunya yang diungkapkan oleh antropolog dari Swedia, Carolus Linnaeus, pada
1758. Ia membagi tipologi manusia cerdas (Homo Sapien) menjadi beberapa
kategori: Homo Sapien Americanus, Homo
Sapien Asiaticus, Homo Sapien Europaeus, dan seterusnya; Homo Sapien Americanus
(Amerika) dianggap memiliki sifat-sifat seperti: pemarah, keras kepala,
periang, bebas, dan seterusnya; Homo Sapien Asiaticus (Asia) dianggap memiliki
sifat-sifat seperti: keras, sombong, bodoh, dan seterusnya; Homo Sapien
Europaeus (Eropa) dianggap memiliki sifat-sifat seperti: aktif, sangat cerdas,
berdaya cipta, dan seterusnya.[2]
Apabila kita
telusuri teori ini dan dari geneologi rasisme, sebenarnya teori ini berasal
dari tradisi Yahudi (Yang menganggap bahwa mereka adalah “Bangsa Terpilih”) dan
Carolus Linnaeus ini merupakan antropolog keturunan Yahudi yang tidak heran
dapat melahirkan teori ini berdasarkan keyakinan yang dianutnya.
Selanjutnya, dalam klasifikasi ras ini, para ilmuwan atau antropolog Barat selalu menempatkan posisi “Orang Kulit Putih(Caucasoid)” sebagai ras tertinggi yang memiliki kecerdasan, kebijaksanaan, dan perilaku yang lebih baik dibandingkan ras berkulit lainnya. Walaupun teori ini sudah ditentang oleh para ilmuwan lainnya, melalui teori Mendel II dan berbagai teori lain sebagainya, namun dengan ide klasifikasi ras yang sudah timbul sebelumnya, sudah melahirkan sistem white supremacy di lingkaran orang-orang kulit putih. Hal inilah yang mendorong terjadinya diskriminasi, perbudakan, apartheid, bahkan genosida terhadap orang-orang yang berbeda itu.
(Najib Jayakarta)
[1] Cavalli-Sforza,
Luigi. 2000. Genes, Peoples, and Languages. tr. Mark Seielstad: North
Point Press ISBN 0-86547-529-6
[2] Marks, Jonathan (1996). Science and Race. American
Behavioral Scientist, 40(2), 123-133.
Komentar
Posting Komentar