Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

 

Lukisan "St. Agustinus dalam Studinya

karya Vittore Carpaccio, 1502 M.

Bismillahirrahmanirrahiim,

Agustinus dari Hippo / Saint Augustine / Saint Austin atau lebih dikenal di Indonesia sebagai Santo Agustinus, merupakan seorang yang dianggap suci dari agama nasrani. Pemikiran-pemikirannya tentang konsep Gereja, sebagai suatu Kota Allah yang spiritual, berbeda dengan Kota Duniawi yang materiil. Pemikirannya sangat mempengaruhi cara pandang dunia abad pertengahan. Gereja yang berpegang pada konsep Trinitas, sebagaimana didefinisikan dalam Konsili Nicea dan Konsili Konstantinopel[1], umumnya diidentifikasi sebagai Kota Allah-nya Agustinus.

Pemikiran Agustinus

Agustinus sendiri sangat terpikat akan filsafat, khususnya filsafat Plato dan Neo-Platonisme. Pemikiran-pemikiran filsafat Agustinus sangat dipengaruhi oleh Platonisme dan Neo-Platonisme, walaupun Aristotelisme dan Stoisisme juga mempengaruhi jalan berpikirnya.

Sedangkan pemikiran teologis Agustinus dapat terlihat dari perdebatan melawan ajaran-ajaran yang menyimpang dari agamanya. Agustinus beranggapan bahwasannya filsafat haruslah mengabdi kepada teologi filsafat, sehingga tidak diperbolehkan seseorang itu memiliki sebuah otonomi iman. Filsafat hanya memungkinkan mengenal dan mencapai kebenaran sejati, jika dilakukan sebagai filsafat Kristen. Menurut Agustinus, dalam filsafat Kristen haruslah terlihat jelas bahwa tindakan iman adalah tindakan rasional manusia. Agustinus juga mengatakan bahwa manusia percaya agar ia mengerti.

Di kalangan Kristen, Agustinus juga merupakan salah seorang penulis Latin kuno pertama dengan suatu visi yang sangat jelas mengenai antropologi teologis. Ia memandang manusia sebagai satu kesatuan sempurna dari dua substansi: tubuh dan jiwa. Oleh karena itu, dia menolak dualisme ekstrim Plato tentang manusia, Plato menjelaskan bahwa manusia merupakan jiwa yang terpenjara dalam tubuh. Menurut Agustinus, manusia adalah substansi yang menggunakan tubuh untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena tubuh manusia tergolong kedalam alam jasmani dan jiwanya tergolong ke dalam alam rohani.

Jiwa yang tergolong ke alam rohani, maka senantiasa mencari kebenaran yang abadi walaupun keinginannya yang terdalam adalah mencapai kebahagian dan kebaikan yang sempurna. Karena hal inilah, akan selalu ada pertentangan antara kehendak alam jasmani dan alam rohani dalam diri manusia.

Agustinus mengatakan jika kehendak jasmani sesungguhnya tidaklah jahat. Kejahatan dan dosa itu ada karena ketiadaan yang baik. Yang baik meniada apabila manusia salah menggunakan kehendak bebas yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia. Jadi dosa dan kejahatan timbul oleh karena penyalahgunaan kehendak bebas.

Menurut alam pikiran Agustinus sesungguhnya tidak ada tempat untuk setan atau iblis. Kejahatan dan dosa adalah hasil perbuatan manusia. Ia juga mengatakan mengenai keabadian jiwa bahwa hanya tubuh yang dapat binasa, sedangkan jiwa akan tetap ada untuk memandang kebenaran-kebenaran abadi.

Pemikiran pertama yang dengan jelas mengajukan tuntunan legitimasi etis terhadap negara merupakan pemikiran dari Agustinus. Ia menganalogikan negara ibarat tubuh (body) dan jiwa (soul). Tubuh tidaklah kekal, fana, semasa yang akan hancur secara alamiah. Bagian ini yang memiliki dorongan hawa nafsu untuk memiliki keinginan segala yang berhubungan dengan nafsu biologis.

Namun, ini juga yang menjadi segala persoalan yang dapat menyebabkan manusia lupa atau jauh dari sang pencipta (Tuhan) dan menyebabkan manusia bergelimang dengan dosa. Doktrin yang dicetuskan oleh Agustinus tersebut kebenarannya selama berabad-abad sudah diberlakukan di Barat. Konsep hidup dalam biara dan tanpa menikah terinspirasi oleh dirinya sendiri.[2]

Misogini

Agustinus melihat bahwa wanita sebagai penyebar dosa maka dari itu harus dihindari. Hal ini kemudian mendapat penolakan keras dari kalangan feminisme di masa modern. Ini berasal karena pengalaman masa lalunya yang bergelimang kepuasan duniawi sebelum ia mengikuti prinsip hidup dalam biara, salah satu yang terkenal akan ungkapannya adalah: “Da mihi castitatem et continentiam, sed noli modo” (Berikanlah aku kemurnian dan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang).

Kota Tuhan

Menurutnya, jika jiwa itu bersikap kekal abadi tidak akan pernah mati atau hancur, jiwa akan tetap hidup. Berdasarkan hal tersebut, Agustinus membuat kategori dua bentuk negara, yaitu negara Tuhan atau dalam bahasa Yunani, Civitate Dei dan negara Iblis atau negara Duniawi dalam bahasa Yunani Civitate Terrena atau Civitate Diaboli.

Negara Tuhan yang didasarkan oleh cinta kasih Tuhan yang bersifat kekal (abadi), merupakan faktor perekat yang mengintegrasikan negara menjadi suatu kesatuan politik (Political Entity). Merupakan kepatuhan warga negara terhadap hukum-hukum negara yang dilaksanakan atas kesadaran kolektif. Semua dilakukan demi mencapai kebaikan bersama dan kebaikan bersama ini sebagai perhatian utama dalam negara Tuhan.[3]

Negara Tuhan memiliki sifat Universal, tidak dibatasi oleh sekat-sekat territorial kebangsaan, suku, bahasa maupun waktu. Negara Tuhan juga dapat berlangsung sepanjang masa. Oleh sebab itu, maka Agustinus percaya bahwa masyarakat atau negara ideal yang seharusnya dibangun oleh umat Kristen adalah semacam Negara Persemakmuran Kristen.

Adapun unsur penting dari negara Tuhan adalah perdamaian hubungan positif dalam keharmonisan serta kerukunan atau perdamaian yang dilihat sebagai The Most Orderly and Concordant Partnership in The Function of God and Another in God.

Negara Tuhan disini mungkin berbeda dari konsep Teokrasi yang menjunjung dan berpedoman pada prinsip Ilahi. Karena konsep Teokrasi sendiri merupakan bentuk identitas yang lebih absolut dalam sistem Agama Negara. Dimana pemimpin negara juga sekaligus pemimpin agama spiritual. Contoh: Iran & Vatikan.

(Najib Jayakarta)



[1] Wilken, Robert L. (2003). The Spirit of Early Christian Thought. New Haven: Yale University Press.

[2] Syam, Firdaus, 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Bumi Aksara

[3] Rapar, J.H., 1995. Filsafat Politik Agustinus. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?