Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung
Sumber Gambar: Radar Solo
Bismillahirrahmanirrahiim,
Tentu sangat menarik apabila berbicara tentang demokrasi di Indonesia ini, negeri ini selalu berbicara perihal mengedepankan toleransi, kebebasan, Bhinneka Tunggal Ika, dan isu-isu demokrasi lainnya. Apakah benar di Indonesia ini sudah benar-benar berdemokrasi layaknya negara Barat? Apakah perjuangan para aktivis Reformasi yang sudah berjuang untuk menumbangkan rezim Orde Baru belum bisa terlaksana?
Dilansir dari thecolumnist.id, Berbicara mengenai politik dinasti di dalam sistem demokrasi menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas. Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa politik dinasti seharusnya tidak terjadi di negara yang menganut sistem demokrasi. Beberapa kalangan menganggap bahwa sistem demokrasi yang hampir dianut seluruh negara-negara dunia adalah bentuk dari kemenangan atas monarki absolut yang sudah berabad-abad menguasai secara otoriter.
Jika melihat kasus
politik dinasti di Indonesia bukan lagi menjadi hal asing di masyarakat
Indonesia. Pada masa Orde Baru kita melihat politik dinasti yang terpusat,
dimana keluarga Soeharto dari istri hingga anak mengisi posisi penting dalam
jabatan struktural. Bahkan di beberapa provinsi atau pun kabupaten politik
dinasti selalu menghiasi jalannya pemerintahan, mungkin sebagian dari kita
mengetahui kasus Dinasti Ratu Atut di Banten dan bahkan di beberapa daerah
lainnya.
Transisi demokrasi pasca
reformasi tahun 1998 diharapkan mampu untuk merubah peran sentral pusat atau
biasa disebut sentralisasi menjadi desentralisasi kepada daerah otonom yang
berdasarkan asas otonomi. Akan tetapi desentralisasi kepada daerah otonom pada
akhirnya juga memunculkan permasalahan baru, yaitu politik dinasti yang muncul
di provinsi dan kabupaten/kota. Yang menjadi pertanyaan kita semua “mengapa
politik dinasti banyak bermunculan di daerah-daerah?”.
Baru-baru ini hangatnya
informasi mengenai putra sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka sebagai
Calon Walikota Solo yang diusung oleh PDIP mendapatkan respon pro dan kontra
dari publik sendiri. Beberapa berasumsi bahwa naiknya Gibran putra sulung
Presiden Jokowi sebagai hal yang wajar sebagai Warga Negara Indonesia yang
memiliki hak untuk terlibat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. Sebagian juga
menganggap bahwa Gibran naik menjadi Calon Walikota Solo disebabkan oleh
eksistensi yang dimiliki oleh bapaknya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Jika dilihat dari aspek
demokrasi Gibran tidak salah dalam pencalonannya sebagai Calon Walikota Solo.
Sebagai warga negara berhak untuk memiliki political rights atau hak asasi
politik untuk ikut serta dalam pemerintahan dan memiliki hak untuk memilih
ataupun dipilih dalam pemilihan umum. Karena demokrasi sendiri memberikan
kesempatan hak secara individu, bukan secara kolektif. Maka pencalonan Gibran
sebagai Calon Walikota merupakan hal lumrah dalam sistem demokrasi yang menempatkan
hak secara individu atapun sebagai warga negara yang berdasarkan konstitusi.
Secara aturan tertulis
berdasarkan konstitusi tentu Gibran memiliki hak untuk dipilih pada Pilkada
Kota Solo. Akan tetapi dalam aturan tidak tertulis seperti yang diungkapkan
oleh Profesor Ilmu Politik Harvard University Steven Levitsky dan Daniel
Ziblatt pada bukunya yang berjudul “How Democracies Die” bahwa untuk mencegah
pembusukan demokrasi dari dalam dibutuhkannya penjaga gawang demokrasi untuk
melakukan proses pengetatan dalam persoalan menyeleksi calon pemimpin yang
bakal diusung. Yang dimaksud oleh Levitsky dan Ziblatt para penjaga gawang itu
adalah para politisi dan lebih khususnya yaitu partai politik, karena partai
politik memiliki tanggung jawab moral untuk memilih kandidat agar tidak
meloloskan calon yang memiliki potensi otoriter atau yang tidak mumpuni
sekalipun.
Jika kita melihat naiknya
Gibran sebagai Calon Walikota Solo yang diusung oleh PDI-P, kita tidak bisa
hanya menyalahkan Gibran sebagai putra sulung Presiden Jokowi saja. PDI-P
sebagai partai politik yang mengusung Gibran seharusnya memiliki tanggung jawab
moral besar karena begitu yakin memilih Gibran sebagai calon yang diusung.
Jika melihat sepak
terjang Gibran yang sangat minim pada proses politik, seharusnya PDI-P sebagai
partai politik yang menjadi penjaga gawang demokrasi harus lebih bijak dalam
memilih calon yang memiliki kompetensi untuk terlibat dalam proses demokrasi
seperti pemilihan umum.
Dari kasus naiknya Gibran
menjadi Calon Walikota Solo seharusnya menyadarkan kita semua bahwa lemahnya
kekuatan-kekuatan politik khususnya partai politik dalam menjaga demokrasi.
Partai politik yang seharusnya memberikan pendidikan politik khususnya mengenai
demokrasi kepada masyarakat luas, pada akhirnya partai politik sendiri yang
merusak jalannya demokrasi itu sendiri. Makna demokrasi pada akhirnya menjadi
abu-abu di masyarakat luas saat ini yang disebabkan gagalnya penjaga gawang
demokrasi partai politik itu sendiri.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk melihat suatu kasus ataupun isu politik seperti politik dinasti dalam kaitannya dengan demokrasi harus lebih detail lagi. Yang harus kita ketahui sebagai negara republik yang menggunakan sistem demokrasi bahwa makna republik dan demokrasi adalah gagasan generik yang didalamnya bisa diisi dengan berbagai bentuk pemikiran ataupun kebijakan, sekalipun berlawanan dengan ide-ide republik ataupun demokrasi yang ideal. Maka disini pentingnya pendidikan politik bagi setiap warga negara agar tercapainya common good atau kebaikan bersama. Bahwa demokrasi bukan hanya mengenai pemilu saja, demokrasi adalah aturan yang tidak tertulis yang menjadi norma bersama kita semua.
Komentar
Posting Komentar