Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

 


Ilustrasi Apel Eden & Ular Penggoda (Penyebab terjadi Dosa Asal)

Sumber Gambar: Bengcu Menggugat


Bismillahirrahmanirrahiim,

Artikel sebelumnya menjelaskan tentang pemikiran dari Santo Agustinus, dia menjelaskan tentang konsep negara tuhan dan kehidupan biarawan. Agustinus menjelaskan bahwasannya seorang manusia haruslah mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari hal keduniawian karena manusia mudah terhasut dengan kejahatan dan menghasilkan dosa.

Mungkin sebagian dari kita pernah bertanya, “Darimana asalnya dosa?”. Bagi mereka yang pernah belajar filsafat dan teologi, jawabannya pasti akan bermacam-macam. Dosa asal menurut doktrin teologi orang Kristen adalah kondisi pertama kali manusia berbuat dosa saat di Taman Eden (Surga). Saat Adam & Hawa memakan Apel Eden; dalam Islam memakan buah Khuldi. Dalam kitab kepercayaan orang Kristen,  Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sering membicarakan penuhnya dosa dalam diri manusia namun tidak memiliki kata-kata "dosa asal" dan "dosa leluhur".

Dosa asal adalah pemicu manusia mudah melakukan larangan yang diberikan oleh Allah. Karena adanya dosa asal, manusia menanggung dosa yang dilakukan oleh Adam & Hawa.

Dalam agama Islam sendiri, konsep dosa asal dijadikan sebagai bahan argumentasi Imam Khomeini tentang sebab kewajiban wudhu adalah perbuatan Nabi Adam yang dipandang sebab dan tidak ada penegasan bahwa perbuatan Nabi Adam ini dipandang sebagai dosa; karena Islam memandang perbuatan Nabi Adam sebagai tark aula (meninggalkan yang utama) yang apabila bersumber dari para wali Allah maka akan membuahkan hukuman bagi yang melakukannya. Sebagaimana hal ini terjadi dalam kasus Nabi Yunus dan nabi-nabi lainnya. Namun terkait dengan sebab kewajiban wudhu terdapat riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan tiadanya batasan sebab wudhu dalam masalah khusus ini.

Adapun Islam, tidak menerima apa yang dilakukan Nabi Adam dan Hawa itu sebagai dosa, sebagaimana Allamah Thabathabai, dalam ayat-ayat al-Qur’an, meyakini bahwa Nabi Adam tidak melakukan dosa dengan dua dalil sebagai berikut:

1.     Larangan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang adalah larangan irsyâdi bukan maulawi; karena larangan tersebut keluar di surga dan surga bukan tempat taklif, larangan dan perintah maulawi. Dalam larangan irsyâdi, yang menjadi obyek larangan adalah kemaslahatan pribadi yang dilarang dan pemberi larangan ingin membimbing (irsyâd) supaya ia mengerjakan apa yang maslahat baginya. Larangan-larangan dan perintah-perintah yang sedemikian tidak membuahkan ganjaran apabila dikerjakan dan juga tidak menuai hukuman apabila ditinggalkan. Persis seperti perintah-perintah dan larangan-larangan orang-orang yang memberikan konsultasi kepada kita atau dokter yang memberikan resep kepada pasiennya dimana yang menjadi obyek perintah atau larangan adalah kemasalahatan orang yang meminta konsultasi. Apabila ia melanggar bimbingan tersebut maka hal itu akan berujung pada kerugian dan mafsadah orang itu sendiri.

 

2.     Nabi Adam As adalah seorang nabi dan al-Qur’an memandang para nabi itu suci dan nafas-nafas suci mereka terlepas dari perbuatan dosa dan kefasikan. Argumen-argumen rasional dan ayat-ayat al-Qur’an juga menyokong pandangan ini.

Allamah Thabathabai, dalam tuturan yang panjang menetapkan masalah kemaksuman para nabi dengan dalil-dalil rasional dan referensial.

Dari satu sisi, pandangan kaum Kristian bahwa Nabi Adam melakukan dosa dan perbuatan dosa adalah kemestiannya, adalah pandangan keliru. Karena Allah Swt memilih Nabi Adam As dan memandangnya dengan pandangan rahmat setelah ia memakan pohon terlarang dan keluar dari surga, “Kemudian Tuhan memilihnya, lalu Dia menerima tobatnya dan memberi petunjuk kepadanya.”dan juga “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhan-nya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

Karena itu, ucapan ini yang menyatakan bahwa “Setiap kesalahan yang dilakukan oleh manusia adalah kemestian yang tidak terpisah darinya” sama sekali tidak dapat dibenarkan dan dengan asumsi adanya kemestian dosa dengan manusia, maka hal itu tidak lagi menyisakan kata maaf dan ampunan bagi manusia. Sementara al-Qur’an banyak membahas persoalan maaf dan ampunan. Al-Qur’an tidak pernah diam dalam menghadapi masalah ini. Karena itu, keyakinan kaum Kristian tentang dosa Adam dan segala konsekuensinya adalah keyakinan batil dan tidak berdasar serta mengingkari masalah maaf dan ampunan Ilahi selama berabad lamanya dalam hubungannya dengan umat manusia.

 (Najib Jayakarta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?