Minggu 5: Pemikiran Erving Goffman

 21 Oktober 2020


Bismillahirahmanirrahiim,

Erving Goffman
Sumber Foto: Wikipedia

      Sudah 3 minggu saya menjadi anggota FORMACI(Forum Mahasiswa Ciputat), sebulan ini kami banyak berdiskusi tentang banyak hal, namun saya lebih mengikuti diskusi tentang pemikiran-pemikiran Sosiolog terkenal, antara lain Emile Durkheim, Talcott Parsons, dll. Semalam kami mendiskusikan tentang pemikiran Erving Goffman.

         Goffman dalam bukunya menjelaskan tentang Sosiologi Mikro, padahal di zamannya, sosiolog-sosiolog masih berkutat di Sosiologi Klasik. Dalam bukunya, antara lain Monograph, Dramaturgi, Stigma, dan Asylum. Dramaturgi misalnya(Presentation of Self in Everyday Life), dia menjelaskan bahwa manusia atau dalam hal ini individu, sangatlah berbeda sikapnya saat berkomunikasi dengan orang lain atau masyarakat, dengan dirinya di luar lingkungan itu. Dibagi menjadi bagian, yaitu Front Stage dan Back Stage. 

         Namun dalam Dramaturgi, teori ini hanya berlaku di Institusi Total, seperti Sekolah, Militer, Penjara, dll. Teori ini juga bertentangan dengan dengan pemahaman dari tujuan Sosiologi itu sendiri, yaitu kekuatan "Masyarakat". Bahwa tuntutan peran individual dapat menimbulkan clash apabila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Dramaturgi terlalu condong kepada positifisme, yang memaparkan bahwa aturan adalah mutlak, perilaku yang tidak dapat dijelaskan secara logis atau nyeleneh merupakan perilaku yang tidak patut.

         Goffman jugalah yang mempopulerkan istilah Stigma, sebagai orang yang tidak diterima atau dianggap abnormal oleh masyarakat. Orang Stigma adalah mereka yang tidak memiliki penerimaan sosial secara penuh dan terus berusaha untuk menyesuaikan identitas sosial mereka, seperti pecandu narkoba, pelacur, orang cacat fisik, maupun orang cacat mental.

          Dia melihat berbagai strategi yang menimbulkan stigma pada individu menggunakan untuk menangani penolakan orang lain dan gambar kompleks diri bahwa mereka adalah objek dari orang lain. Goffman juga memberikan solusi kepada orang yang distigmatisasi dengan cara, bersikap apatis, celaan dijadikan humor, dll.

Selesai.

(Najib Jayakarta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?