Minggu 16: Kenapa Sertifikasi Halal dari MUI?
Bismillahirrahmanirrahiim,
Kita telah mendengar bahwa dalam
penetapan UU Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan nama Omnibus Law
di Pasal 1 ayat 10 yang menyatakan:“Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan
suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”
Tentunya ini bertolak belakang dengan
pengetahuan yang kita ketahui dan hukum yang sebelumnya ada, bahwa sertifikasi
halal haruslah berasal dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lalu sebenarnya apa itu fatwa? Dan kenapa
harus MUI yang menetapkannya?
Dilansir dari Halalmui.org,
dalam menetapkan proses kehalalan suatu produk,
dalam ilmu fikih terbagi menjadi dua, yakni fikih biasa dan fikih qadha’i.
Untuk fikih biasa, setiap Ormas Islam memiliki kewenangan yang sama untuk
menetapkan hukumnya. Hal ini dimungkinkan adanya perbedaan putusannya dalam
satu varian.
Sedangkan, dalam konteks sertifikasi
halal, fiqih yang digunakan adalah fiqih qadha’i yang bersifat final
dan binding serta sudah pada level aturan negara. Sehingga, sudah tidak
dibolehkan adanya perbedaan pendapat. Artinya, kewenangan tidak bisa dibagikan
kepada siapa pun. Meski acuannya sama, namun kalau penetapan fatwanya berbeda
itu juga tidak bisa.
Sebagai contoh, apabila ada 10 pendapat,
ketika negara atau lembaga yang ditunjuk oleh negara mengambil pendapat A, maka
yang berlaku adalah pendapat tersebut. Itulah fikih qadha’i. Jadi tidak
dibuka peluang pendapat setelah itu. Jika dibuka, maka akan terjadi kekacauan
keputusan fatwa” jelasnya.
Lebih jelas lagi, ketika hakim dalam hal
ini pemerintah sudah menetapkan sebuah hukum, maka hukum ini mengikat dan
seharusnya sudah menghapus semua perbedaan. Inilah yang menjadi alasan kuat
secara fikih, mengapa penetapan fatwa harus dilakukan oleh MUI.
Sebagaimana kita ketahui bahwa MUI merupakan tempat bernaungnya ormas-ormas Islam tempat berhimpunya para Ulama, zuama dan cendekiawan muslim, dari Muhammadiyah, Nahdhlatul Ulama, Persatuan Umat Islam, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainya.
Dalam
Omnibus Law Pasal 1 ayat 10 sendiri saya
tidak setuju dan sangat menentangnya, alasannya adalah
keputusan dalam UU ini dapat menyebabkan disintegrasi antar-ulama dan ormas
Islam, karena Ketentuan dalam UU ini, membuka ruang kepada semua Ormas
Islam untuk memberikan fatwa atas sebuah produk.
Ini
tentunya sangat berbahaya, karena ulama dan Ormas Islam yang selama ini telah
bersatu dalam rumah besar MUI, akan terpecah-belah karena semua diberikan ruang
untuk berfatwa dari izin negara. Maka persatuan umat Islam tidak akan pernah
terjadi. Ini justru kemunduran cara pandang Pemerintah yang akan memboroskan anggaran
untuk memperbaikinya.
Komentar
Posting Komentar