Minggu 32: Cara Sukses Merantau ala Suku Minang

 

Suku Minangkabau

Sumber Gambar: GuruPendidikan


Bismillahirrahmanirrahiim,

(Diambil sebagian dari makalah Antropologi saya yang berjudul “Budaya sebagai Pendorong Kewirausahaan Perantauan Suku Minangkabau")

Suku Minangkabau identik dengan kewirausahaan sejak zaman dahulu kala. Tidak dapat dipungkiri kemampuan berdagang sudah diwariskan turun-menurun oleh nenek moyang Suku Minangkabau, namun karena adanya faktor sistem kekerabatan matrilineal, menjadikan pemuda suku Minangkabau harus merantau ke luar daerah kelahirannya agar dapat mencari lapangan pekerjaan, menciptakan bisnis baru, dan mencari kehidupan yang lebih baik.

Dengan merantaunya pemuda Suku Minangkabau, tentunya mereka akan bersaing dengan orang daerah yang mereka tuju, modal bekal pendidikan di kampung halaman tentu tidak akan menjadi penentu keberhasilan orang Minangkabau akan berhasil. Diperlukannya semangat yang tinggi agar tidak patah semangat saat diterpa krisis atau musibah di daerah asing. Namun karena pengaruh budaya Suku Minangkabau yang cenderung bersifat egaliter, demokratis, dan sintetik, menjadikan para pemudanya siap mental dan berani dalam melakukan sesuatu terutama dalam berbisnis.

Orang Minang yang merantau tentu memiliki perbedaan dengan lingkungan yang ditinggali, baik dalam kehidupan sosial maupun budaya. Perbedaan budaya, seperti sistem kekerabatan, kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sitem organisasi, upacara daur hidup, adat istiadat dan perbedaan lain. Contoh: Orang Minang yang berkebudayaan Minangkabau dengan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berkebudayaan Jawa merupakan tantangan bagi orang Minang untuk dapat bertahan hidup di lingkungan tempat perantauan. Termasuk perbedaan yang menonjol yang akan dibahas adalah faktor bahasa, norma, serta makanannya. Perbedaan antara bahasa Minang dengan bahasa Jawa mengharuskan orang Minang yang merantau berusaha untuk dapat menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan masyarakat sekitar. Situasi yang seperti inilah yang menjadikan orang Minang berusaha untuk menyesuaikan penggunaan bahasa (verbal) dengan baik, atau setidaknya mengerti tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Selain perbedaan bahasa, ada perbedaan yang sering dianggap suatu hal yang biasa, yakni berkenaan dengan makanan atau masakan. Makanan atau masakan juga termasuk kekayaan budaya suatu suku bangsa.

Salah satu kekayaan Suku Bangsa Minangkabau adalah kekayaan kulinernya, bahwa dari satu bahan dasar dapat diolah menjadi beberapa jenis masakan. Kecenderungan orang Minang menyukai makanan atau masakan yang pedas, tetapi tidak mutlak untuk semua orang Minang. Sedangkan orang Jawa cenderung berselera dengan makanan atau masakan yang manis. Perbedaan selera makanan ini sebenarnya juga tidak sepenuhnya mutlak untuk seluruh anggota dari masyarakat Jawa, tetapi ada kontruksi pemikiran jenis makanan dari masing-masing masyarakat tersebut. Secara antropologi, setiap makanan menyebar seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada lokalisasi, proses industri yang disesuaikan dengan adat dan budaya setempat. Perbedaan selera makanan antara orang Minang dengan orang Jawa inilah yang menjadikan orang Minang melakukan penyesuaian dalam hal makanan.

Strategi adaptasi orang Minang terhadap makanan daerah setempat adalah dengan memilah-milah makanan yang pedas sesuai dengan selera atau dengan memasak sendiri. Orang Minang yang mempunyai tempat usaha warung makan khas masakan Minang meyesuaikan menu dengan selera masyarakat sekitar. Strategi adaptasi orang Minang terhadap norma masyarakat adalah dengan berusaha mematuhi segala tata tertib yang ada dan menyesuaikan dengan tradisi masyarakat sekitar serta menggunakan panggilan setempat yang sering digunakan oleh orang-orang.

Selain perbedaan bahasa dan selera makanan, terdapat pula perbedaan norma masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minang banyak mempergunakan kata adat, terutama berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya. Pengungkapannya dalam bentuk pepatah-petitih, talibun, mantra dan ungkapan-ungkapan lainnya. Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang cenderung menerapkan nilai-nilai budaya Jawa tentu norma yang diterapkan juga berbeda dengan norma yang berlaku pada masyarakat Minang. Setiap masyarakat memiliki suatu aturan atau norma dan adat istiadat yang berbeda. Norma yang ada di tempat tinggal kita akan berbeda dengan norma yang ada di daerah lain. Begitu pula dengan norma yang ada pada masyarakat Jawa akan berbeda dengan norma orang Minang. Oleh karena itu orang Minang yang tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan norma Jawa yang berlaku dalam masyarakatnya.

      Adanya berbagai perbedaan antara budaya Minang dengan budaya Jawa harus dapat dikelola dengan baik oleh anggota masyarakatnya agar tidak terjadi perpecahan. Orang Minang yang merantau dan tinggal di luar Sumatera Barat memerlukan penyesuaian dengan budaya masyarakat setempat. Kebutuhan beradaptasi tersebut merupakan suatu bentuk usaha agar dapat bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, agar dapat hidup dan berkembang dengan lingkungan sosialnya setiap individu harus melakukan penyesuaian dalam setiap tahap perkembangannya. Untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya setiap individu harus dapat melakukan komunikasi dengan kepribadian yang dimiliki oleh berbagai individu. Di zaman sekarang ini, adaptasi mempunyai peran yang sangat penting. Manusia sebagai makhluk sosial berusaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Orang Minang yang hidup dalam masyarakat Jawa yang secara nyata adalah berbeda budaya memerlukan suatu strategi untuk dapat mempertahankan hidupnya dan agar tetap eksis dalam keminoritasan.

(Najib Jayakarta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?