Minggu 32: Puisi

 

Jujur saya sedang malas untuk menulis sebuah artikel, jadi saya berikan beberapa puisi yang pernah saya tulis. Semoga bapak Study Rizal dan teman yang membaca terkesan. Hehehe.

 

Dialog Mata

 

Isyarat tertentu dilarang.!

 

Dialog hampir tidak ada.!

 

Mata terhubung sederhana.!

 

Kemudian mereka memberitahuku

Perasaan apa yang diekspresikan melalui matamu.

 

 Kesedihan

 Kemarahan

 Kekecewaan

 Kecemasan.

 Keputusasaan

 Kasih sayang.

 Cinta.

 

Kalau begitu katakan padaku dengan matamu, kemana tempat selanjutnya yang ingin kau tuju ?

 

Lihatlah diriku dan tataplah mataku.

Biarkan aku membaca pikiranmu.

Sebuah dunia tanpa distorsi dan kesalahpahaman.

Dengan matamu, aku bisa memahamimu lebih baik bahkan tanpa usahamu.

Bicaralah padaku dengan matamu.

 

Karena Aku suka menatap matamu.

 

Serangkai Harapan Tak Berarah

 

Serangkai harapan tak berarah.

Daun yang berjatuhan dikala musim berganti.

Kau datang lalu pergi tinggalkan perih.

 

Serangkai harapan tak berarah.

Kau buat dirimu menjadi nyata.

Nyata, Yang dulu selalu terbang dalam imajinasiku.

Nyata, Yang dulu menjadi pelangi dalam duniaku.

 

Serangkai harapan tak berarah.

Seketika aku mulai bahagia dengan hadirmu.

Sesaat itu pula kau kembalikan, Kembalikanku kedalam dimensiku.

Dimana sendiri dan keheningan kembali menjadi sahabatku.

 

Serangkai harapan tak berarah.

Aku bosan, Bosan.

Dengan serangkai harapan tak berarah.

Yang kau ciptakan dalam perihku.

Yang kau berikan dalam memoriku.

 

Serangkai harapan tak berarah.

Terima kasih telah berikan sebuah pelajaran.

Pelajaran tentang bagaimana caranya merelakan.


Lara

 

Selepas senja itu pergi. Aku hanya bisa diam tak bergerak di ruang pekat malam bersama rindu untukmu yang kupeluk erat.

 

Kamu yang biasa memberiku temu. Di renggut habis jarak tanpa kepastian.

Sungguh, aku marah pada sisi kelam jarak.

Membuatku harus memeluk erat rindu yang menjalar liar setiap kali senja pergi.

 

Ah—perihal rindu. Selalu saja begitu kejam dalam menjarah apa-apa yang ada dalam kalbu.

Senja tak indah lagi.

 Saat kamu sudah cukup berani untuk meninggalkan diri.

Jarak yang jauh. Menjadi penyakit bagi cinta yang selalu patuh pada jatuh.

 

Sungguh, aku hanya merindukan mu.

 

Namun—waktu tak mengizinkan kita untuk merayakan sebuah temu.

 

Kini, semangkuk penantian aku siapkan dalam meja kenangan. Segelas kopi turut hadir untuk memberikan makna dari kepahitan.

Temaram lampu kota, menjadi tontonan bagi jiwa yang sudah lelah akan cinta.

Gempitanya malam bisu, menjadi saksi akan aku yang tengah merindukan kamu.


- Pangeran Hutan a.k.a (Najib Jayakarta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minggu 21 : St. Agustinus, Negara Tuhan & Kehidupan Biarawan

Minggu 7: Muhammadiyah atau NU?

Minggu 1: Norma Kesopanan

Minggu 19: Rasial, Klasifikasi Varian Manusia yang Kerap Berujung Diskriminatif

Minggu 28: Stigma Suku Betawi

Minggu 14: Minum Alkohol Tidak Mabuk, Boleh?

Minggu 10: Banyaknya Tugas Daring Pelajar Bunuh Diri

Minggu 12: Krisis Penjaga Gawang Demokrasi: Gibran dan Sang Partai Pengusung

Minggu 22 : Dosa Asal Manusia

Minggu 8: Pentas Seni atau Pentas Unjuk Gigi?